Berbagi Pengalaman Pribadi Saat Kuliah di Jepang Bersama Yufita Dwi Chinta
Mengulik sebuah cerita perkuliahan di Jepang tidak akan pernah ada
habisnya. Setiap mahasiswa Indonesia yang kuliah di luar negeri tentunya
memiliki pandangan dan cerita masing-masing ketika mereka menjalani
kuliah di Jepang. Meski kuliah di tempat yang sama, namun dalam
pengalaman satu sama lain pasti memiliki perbedaan. Berbagi cerita dan
pengalaman dengan orang lain tentunya akan membuat perjalanan panjang
yang sudah di tempuh menjadi bermanfaat.
Kali ini tim berkuliah.com telah berhasil mewawancarai salah satu
mahasiswi Indonesia yang berkuliah di negeri sakura. Ingin tahu cerita
lengkapnya? Mari kita simak semuanya di bawah ini.
Kita awali dari perkenalan terlebih
dahulu...mungkin dari nama, asal kota, kuliah dimana, jurusan apa, dan
mengapa memilih kuliah di Jepang?
Jawab : Nama lengkap saya Yufita Dwi Chinta, saya dulu pernah kuliah di
College of Agriculture, Ibaraki University, Ibaraki Prefecture, Jepang.
Jika kalian ingin mengetahui lebih banyak mengenai kampus saya, profil
kampusnya bisa dilihat di website ini :
http://www.ibaraki.ac.jp/en/generalinfo/index.html.
1.
Yufita kuliah dimana, bisakah menceritakan bagaimana profil dari
kampusnya, mungkin dari segi fasilitas, jumlah mahasiswa, dan sistem
pendidikan yang diterapkan?
Sistem pendidikan yang diterapkan? Wah, apa ya namanya. Hal yang
dialami, saya masuk master program reguler. Artinya masuk bulan April
dan lulus bulan Maret dua tahun kemudian (tahun akademik di sini dimulai
bulan April, saat musim semi dimulai). Sementara ada program
internasional yang dimulai sejak 2011, tahun akademiknya dimulai bulan
Oktober. Biasanya mahasiswa master selesai 2 tahun. Meski ada juga yang
perlu memperpanjang 6 bulan sampai 1 tahun. Beberapa teman dan kenalan
saya ada yang demikian karena sakit berat atau sudah lebih dulu diterima
bekerja lalu mengikuti magang awal (3-6 bulan), sehingga tidak bisa
menyelesaikan tugas belajarnya 2 tahun pas. Secara garis besar, master
selesai 2 tahun. Untuk S1, sekolah juga biasanya diselesaikan dalam
kurun waktu 4 tahun (berdasarkan pengalaman teman-teman lab yang S1).
Sebelum masuk program master, saya menyiapkan banyak dokumen untuk masuk
universitas, termasuk Research Planning. Isinya tema penelitian yang
akan saya lakukan, apa yang mau dipelajari, bagaimana cara
mengetahuinya, dan apa manfaatnya selama dua tahun. Research Planning
ini tentu ditanyakan juga dalam tes wawancara masuk universitas. Saya
kira di semua universitas di Jepang, untuk masuk program Master dan PhD,
sistemnya sama, melamar dengan research planning dulu ke dosen
pembimbing.
Bersamaan dengan mulai masuk kuliah, saya juga mulai penelitian saya.
Jadi pagi-siang kuliah, sore mengerjakan tugas kuliah, malam mengerjakan
penelitian (kira-kira demikian). Di sini, biasanya masuk tahun kedua,
mahasiswa akan mulai mencari pekerjaan, jadi setelah lulus bulan Maret,
bulan April mereka bisa langsung masuk kerja (tutup buku pemerintah dan
perusahaan di Jepang sama dengan tahun akademik, yaitu bulan Maret. Lalu
dimulai kembli bulan April). Jadi, tidak hanya mahasiswa Jepang,
mahasiswa asing yang ingin bekerja di Jepang mulai mencari pekerjaan
pada tahun kedua program kuliah. Jadi, bisa dibayangkan betapa sibuknya?
kuliah, penelitian, menulis tesis, mencari kerja.
Jadi, sistem pendidikan apa ya namanya, hehe. Maaf, cerita panjang tapi gak bisa jawab nama sistemnya.
2. Bagaimanakah
karakter dosen dan mahasiswa asli Jepang yang berkuliah di universitas
tempat Yufita kuliah baik didalam dan di luar kelas?
Jawab : Wah, kalau tentang karakter, tentu macam-macam. Pada dasarnya ya
seperti kita orang-orang Indonesia, bahwa dosen ya berkarakter guru,
dan mahasiswa ya bersifat seperti murid. Kebetulan saya tidak sendirian,
satu angkatan dengan saya ada 2 orang Indonesia lainnya. Satu orang
berbeda departemen (jurusan) dan yang satu orang masuk ke jurusan yang
sama.
Bapak dan Ibu dosen pada dasarnya baik dan ramah. Ada beberapa dosen
panggil dari universitas lain atau dari research center yang memberikan
kuliah. Saya dan teman saya diberikan perhatian yang sama dengan yang
lain.
Tentang teman-teman, macam-macam. Ada yang exciting menjadi teman saya
(karena pengen belajar ngobrol pakai bahasa Inggris, cocok dengan sifat
saya, atau pengen punya teman asing). Tapi ada juga yang biasa saja,
maksudnya sekedar menganggukkan kepala atau mengucapkan "selamat siang"
atau "otsukaresamadeshita" (terima kasih telah bekerja keras) ketika
berpapasan, tapi tidak banyak atau tidak mengobrol. Basically, mereka
ramah loooo. Karena meski tidak pernah ngobrol, tapi mengangguk waktu
bertemu.
Kalau saya pikir-pikir, orang Indonesia lebih heboh ya. Teman satu kelas
pasti kenal semua. Apalagi kalau kelasnya cuma berisi 10-15 orang. Bisa
ngobrol ke sana kemari, jalan-jalan bersama, dll. Di sini mereka ramah
dengan cara mereka sendiri.
Kebanyakan masing-masing mahasiswa master sibuk dengan penelitian,
kuliah dan kegiatan mencari pekerjaan. Tapi banyak teman-teman yang mau
membantu saya berdiskusi kalau saya kurang paham pelajaran di kelas atau
pengen tahu lebih dalam tentang satu obyek penelitian yang didalami
teman saya itu.
Ngumpul-ngumpul? pasti. Kami sering mengadakan party di luar kampus.
Sekedar keluar makan bersama di restoran. Makan dan minum bersama,
terakhir mbayarnya dibagi sesuai jumlah orang yang ikut. Wah, saya jadi
nostalgia teman-teman nih.
3. Adakah
peraturan-peraturan yang dirasa memberatkan atau membuat Yufita
mengalami kesulitan, jika iya apakah itu dan bagaimana cara
mengatasinya?
Jawab : Peraturan yang memberatkan ya? Hmmmm, menurut saya bukan
peraturan sih. Karena saya masuk program reguler (masuk April-lulus
Maret) semua kelas diberikan dalam bahasa Jepang. Dokumen-dokumen yang
berurusan dengan sekolah juga diberikan dalam Bahasa Jepang. Buku
panduan kuliah yang isinya peraturan berapa SKS yang wajib diambil, mata
kuliah per semester, jadwal kuliah dan tahap-tahap belajar (kapan
laporan Research Progress, kapan mengumpulkan draft tesis sampai tesis
jadi, dll) hanya diberikan dalam Bahasa Jepang. Nah, tentu saja kendala
Bahasa ini menjadi faktor paling sulit bagi saya. Karena ketika datang,
yang saya tahu hanya "ohayou gozaimasu" (selamat pagi) dan "arigatou
gozaimasu" (terima kasih banyak) yang bahkan kadang-kadang tertukar saat
mengucapkan. Apalagi kosakata pelajaran di dalam kelas berbeda dengan
kosakata sehari-hari.
Untuk membantu saya mengenal bahasa Jepang lebih banyak saya melakukan banyak cara :
a. Belajar
bahasa Jepang di dalam kelas. Universitas menyediakan kelas bahasa
Jepang dengan guru orang Jepang pastinya. Dalam seminggu ada 3 kelas,
kelas pemula, menengah dan lanjut. Pemula biasanya untuk yang baru
datang dan mengenal bahasa Jepang. Menengah untuk yang sudah tahu lebih
banyak. Lanjut untuk yang sudah cas cis cus, biasanya isinya baca koran,
berpendapat, dan diskusi. Saya sudah pernah merasakan semua kelas.
Semuanya asik karena saya bisa ketemu dengan mahasiswa asing lainnya
yang kuliah atau short term saja di universitas. Lagipula "sensei"
(guru) pengampu kelas bahasa akan memberikan banyak pengetahuan tentang
kehidupan sehari-hari di Jepang, kebiasaan orang-orang Jepang, dan
budaya mereka. Jadi, saya bisa tahu bagaimana sebaiknya bersikap secara
adat Jepang.
Saya juga ikut kelas bahasa Jepang di kantor kelurahan. Kelas diadakan
hari Minggu siang. Pengampunya adalah bapak dan ibu volunteer. Kelasnya
juga dibagi per level sama seperti di universitas, tetapi lebih detail.
Misal untuk Pemula dibagi dua, yang belajar dari huruf-huruf dan belajar
dari membuat kalimat. Bukan cuma belajar bahasa lo, dalam setengah
tahun biasanya sudah ada jadwal kegiatan. Misal bulan April ada "hanami"
(makan bersama di bawah pohon sakura yang bunganya sedang mekar), lomba
pidato dalam bahasa Jepang, menari dalam kelompok untuk summer festival
di desa, dsb. Kelas dan kegiatan-kegiatan ini merupakan program Ami
International Association. Ami itu nama desa tempat saya tinggal, tempat
dimana Kampus Ami (khusus college of agriculture) berada.
b. Hal lain yang saya lakukan berkaitan dengan bahasa. Saya berusaha
sebisa mungkin bicara dan bertanya menggunakan bahasa Jepang di lab.
Secara orang asing yang tidak bisa bahasa Jepang cuma saya. Pada tahun
pertama ada satu orang Indonesia yang lain dan orang China yang sudah
fasih berbahasa Jepang. Tapi tahun kedua, keduanya lulus. Maka otomatis
saya mau tidak mau lebih keras belajar bahasa. Paling tidak lisan.
Karena bahasa tertulis agak sulit (ada huruf hiragana, katakana dan
kanji). Tidak hanya di lab, dengan teman-teman kuliah pun saya berusaha
menggunakan bahasa Jepang. Kalau salah, mereka berbaik hati mengajari.
c. Di perpustakaan ada banyak sekali buku-buku untuk belajar bahasa
Jepang. Penjelasannya ditulis dalam bahasa Inggris. Saya meminjam buku
dan belajar sendiri di rumah (kamar asrama) sedikit demi sedikit.
Berhubungan dengan kelas. Karena diberikan dalam bahasa Jepang, tentu
saja saya tidak mengerti. Tetapi ada beberapa kelas yang dosennya
sangat-sangat baik, jadi beliau memberikan dua kali penjelasan, dalam
bahasa Jepang dan Inggris. Karena tidak mengerti, biasanya setelah kelas
usai, saya mendatangi dosen langsung dan meminta ijin untuk meng-copy
ppt materi kuliah beliau. Setelah kelas, biasanya saya coba translate
dengan google translator. Meski hasil terjemahannya sama sekali gak
nyambung, saya berusaha menggaris bawahi sesuai isi kuliah tadi . Ya,
sambil tebak-tebak berhadiah sih. Kalau saya belum mengerti juga, saya
kirim e-mail ke dosen yang bersangkutan (dalam buku panduan kuliah
tertera alamat email semua dosen College of Agriculture dan dosen
panggil). Email tentu saya tulis dalam bahasa Inggris, dan dosen-dosen
memberikan respon dan penjelasan yang sangat baik dalam bahasa Inggris
juga.
Program master saya tidak ada ujian semester, tetapi dibebani tugas
setiap minggu. Tugasnya bisa berupa presentasi giliran (sesuai urutan
mahasiswa yang mengambil kelas yang dibuat sendiri oleh mahasiswa),
diskusi bersama tentang isu-isu pertanian terbaru atau tentang salah
satu artikel dalam jurnal, dan membuat essay atau rangkuman sebuah tema.
Biasanya tugas dikerjakan dalam bahasa Jepang. Saya negosiasi ke dosen
apakah diperbolehkan menggunakan bahasa Inggris. Semua memperbolehkan.
Hal lain yang saya rasa berbeda dengan sistem pendidikan di Indonesia
yang membuat saya kewalahan dan bingung di awal adalah metode
penelitian. Memang di awal ada research planning, tetapi kebanyakan
untuk detail dan data-data pelengkap atau data utama yang diperluas,
kita memerlukan banyak metode penelitian. Belum lagi kalau metode yang
dipilih gagal atau tidak sesuai, maka mau tidak mau mencari metode lain.
Nah, dalam hal ini, saya hars mencari sendiri metode itu. Tentu saja
dosen pembimbing akan memberikan pendapat, tetapi yang mencari dan
menentukannya ya saya sendiri.
Kebayangkah, ketika S1 di Indonesia semua metode sudah disuguhkan dosen
pembimbing, saya tinggal menjalankan. Kalau hasilnya kurang sesuai atau
salah, dosen pembimbing yang memikirkan. Di sini, selama dua tahun,
semua kegagalan diusahakan untuk dipecahkan dan dicari solusinya
sendiri. Berat? Tentu saja, tetapi ada dua point yang saya dapat : pola
pikir dan analisis saya terhadap penelitian jadi berkembang. Dan
demikianlah seharusnya karena level saya naik dari S1 ke S2, maka sudah
selayaknya saya harus belajar bertanggung jawab terhadap penelitian saya
sendiri.
Saya rasa dua hal itu yang saya temui berbeda di sini dan memberi pengaruh besar dalam proses sekolah saya di sini.
4. Kenapa Yufita mengambil jurusan yang ditekuni saat ini? Apakah kelebihannya dan apa saja yang dipelajari di dalamnya?
Jawab : Saya lulusan Fakultas Pertanian UGM (S1) maka saya memilih
College of Agriculture di Ibaraki University. Saya masuk departemen
(jurusan) biological plant production. Di UGM, saya mengambil jurusan
Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan (jurusan Perlindungan Tanaman). Dosen
pembimbing saya memiliki proyek penelitian berkaitan dengan penyakit
tumbuhan, maka saya memilih masuk ke lab beliau.
Kelebihan di sini kalau dibandingkan dengan di Indonesia? mungkin alat.
Misalnya, saya bisa belajar meng-ekstraksi senyawa aktif dari dalam
tanaman dan menganalisis besar kandungannya. Semua proses dari
pengambilan sample sampai analisis senyawa, bisa dilakukan sendiri.
Contoh yang lain adalah penelitian molekuler. Mulai dari pengambilan
sample (contoh) sampai dengan analisis molekuler (kuantitas DNA atau
identifikasi) bisa dikerjakan sendiri. Jadi, bisa belajar komplit.
Contoh yang lain adalah kerja di kebun. Kebetulan saya masuk lab di
Field Science Center. Dosen pembimbing saya mengelola green house untuk
menanam strawberry. Mulai dari pembibitan, penanaman, perawatan,
pemanenan dan pasca panen dikerjakan bersama oleh dosen pembimbing saya
dan teman-teman lab. Jadi saya juga bisa belajar komplit bercocok tanam.
Tentu saja dalam satu tahun juga ada banyak sayuran yang ditanam. Saya
jadi bisa belajar lebih banyak.
5.
Yufita kuliah menggunakan beasiswa atau biaya sendiri? Jika beasiswa
apa namanya dan bagaimana cara mengapplynya step by step sesuai
pengalaman Yufita?
Jawab : Nah, ini yang seru. Saya berangkat tanpa beasiswa. Pasti
keputusan yang sangat berani. Saya sendiri sekarang kalau memikirkannya
suka merinding sendiri. Dosen pembimbing saya waktu itu punya proyek,
jadi beliau berkenan dan bisa meng-cover sekolah saya. Maka saya
putuskan berangkat. Satu tahun saya sekolah sambil bekerja paruh waktu
di lab (proyek dosen pembimbing). Kebutuhan hidup sehari-hari tercukup
dari hasil kerja paruh waktu. Sementara untuk biaya sekolah, saya
mengajukan keringanan biaya sekolah. Pengajuan dilakukan tiap semester.
Sesuai peraturan, keringanan bisa diperoleh dari 0-100%. Selama 4
semester, syukur kepada Yang Kuasa, saya mendapat keringanan 100%. Tidak
mudah lo untuk dapat keringanan total. Tentu saja karena saya tidak
punya beasiswa sama sekali. Income saya dari kerja paruh waktu cukup
untuk kebutuhan sehari-hari. Dan surat rekomendasi dari dosen pembimbing
yang menjadi dasar keringanan sekolah total saya. Saya tidak pernah
tahu isi surat rekomendasi itu, karena ditulis dalam kanji . Yang pasti,
peran dosen pembimbing dan prestasi belajar sangat berpengaruh.
Selama satu tahun pertama, saya mencoba apply berbagai macam beasiswa.
Semuanya adalah beassiwa yang diberikan oleh pemerintah maupun yayasan
di Jepang kepada mahasiswa asing. Karena apply-nya di Jepang, resikonya
semua dokumen disediakan dan diisi dengan huruf kanji. Lolos beberapa
kali sampai tahap wawancara (tentu saja dalam bahasa Jepang), tapi
banyak kali tidak lolos. Dari banyak beasiswa yang gagal, satu beasiswa
berhasil saya dapatkan. Beasiswa saya dapatkan dari Rotary Yoneyama
Foundation. Ini linknya http://www.rotary-yoneyama.or.jp/english/.
Beasiswa diberikan selama satu tahun. Cara mendapatkan dan informasinya
ada di link itu. Tahapannya berbeda dengan waktu saya apply. Dulu, yang
diperbolehkan mengajukan adalah mahasiswa S1 tahun ke-3, mahasiswa S2
tahun pertama, dan PhD tahun pertama atau kedua. Jadi, mahasiswa harus
sudah bersekolah di Jepang dan tugas sekolahnya hanya tinggal satu atau
dua tahun. Beasiswa memang hanya diberikan selama satu tahun saja.
Sementara program beasiswa Rotary yang sekarang hampir mirip dengan
program beasiswa Monbukagakusho (program beasiswa dari pemerintah
Jepang).
Yayasan Rotary jepang ini bagian dari yayasan Rotary internasional lo.
Ini linknya https://www.rotary.org/, secara awalnya, Rotary dimulai di
Chicago. Di Indonesia juga ada looo, banyak cabangnya. Saya punya nomor
mahasiswa sebagai penerima beasiswa Rotary, jadi kemanapun saya pergi
kalau bertemu atau pergi ke kantornya Rotary dan menunjukkan nomor
mahasiswa saya, tentu saya akan diterima dengan hangat.
Oh ya, tentang kerja paruh waktu. Selama satu tahun pertama, selain
kerja paruh waktu di lab, saya juga melakukan kerja paruh waktu yang
lain di universitas. Bersama dosen yang lain, saya mengelola English
Corner yang diberi nama DD cafe. Mahasiswa asing dan Jepang dipersilakan
datang. Pertemuan dilakukan seminggu sekali. Kegiatannya macam-macam,
diskusi film kartun, presentasi tentang pengalaman tamasya atau budaya
masing-masing negara, game, dll. Kadang kalau ada yang mau presentasi di
konferensi dalam bahasa Inggris, mereka minta latihan dan kita membantu
memperbaiki atau memberi masukan.Pokonya asikkkk sekali. Saking
asiknya, setelah saya dapat beasiswapun, saya meminta dosen tersebut
untuk melanjutkan kegiatan. Maka, sampai saya lulus dan pulang ke
Indonesia, saya meneruskan mengelola DD cafe.
Maaf, balik tentang Rotary. Meski saya sudah lulus, sampai dengan
sekarang tentu saja saya masih berhubungan dengan baik dengan member
yayasan yang notabene pemnyokong beasiswa saya. Bahkan sekarang setelah
saya satu tahun lulus dan kembali ke Ami, saya sering diundang ke
pertemuan atau pesta mereka.
6. Apakah Yufita aktif di PPI, dimana letak sekretariatnya? Serta apakah selama ini PPI pernah mngadakan event yang besar?
Jawab : Iya, saya aktif di PPI terutama PPI Ibaraki, yang mencakup
universitas-universitas di Ibaraki prefecture. Sekretariatnya bisa di
Tsukuba University, bisa di Ibaraki University sesuai dimana ketuanya
bersekolah.
Selama saya kuliah, saya pernah ikut memeriahkan Tsukuba International
Festival (membuka stand makanan dan produk Indonesia), Indonesia
performance (nari dan nyanyi). Meski acarnya tidak besar, tapi biasanya
kalau ada yang lulus dan akan pulang ke tanah air, ada acara presentasi
yang lulusan dan pemberian sertifikat lulus dari PPI Ibaraki. Setelah
lulus dan kembali ke Ami, saya tidak aktif kembali karena berkaitan
dengan pekerjaan, banyak waktu kurang pas antara kegiatan PPI Ibaraki
dengan pekerjaan saya. Meski begitu, ada mailing list PPI Ibaraki. Saya
bisa ikut kebagian berita-berita dari tema-teman dan kegiatan PPI
Ibaraki dari mailing list.
7. Menurut Yufita, diamana saja kota yang nyaman untuk di tinggali? Dan berapa biaya hidup untuk tiap bulannya?
Jawab : Wah, yang ini sulit saya jawab. Karena selama dua tahun sekolah
di sini, saya tidak pernah pindah wilayah tinggal. Jadi tidak ada
pembandingan mana yang nyaman. Kalau tentang biaya, saya tinggal di
Desa. Jadi biaya hidup lebih bisa berhemat dibandingkan dengan di Tokyo
misalnya. Sebagai contoh, teman Jepang saya yang menyewa apartemen di
desa Ami, dengan harga 40 ribu yen sebulan, teman saya bisa tinggal di
apartemen 3 x 5 meter dengan kamar mandi, dapur, kamar kecil di dalam.
Di Tokyo mungkin harga yang sama dapat kamar yang lebih kecil dengan
share kamar mandi dan kamar kecil, atau share kitchen (saya kurang tahu
nih). Jadi, sangat beruntung lo tinggal di desa. Meski tidak ada apa-apa
yang hingar bingar, tetapi biaya hidup murah. Meski mau kemana-mana
jauh, tapi suasana tenang dan bisa belajar dengan tenang.
Kalau besar biaya hidup, sangat tergantung masing-masing. Kebetulan dua
tahun saya tinggal di dormitory (asrama) universitas yang diperuntukkan
untuk mahasiswa Jepang. Sewa kamar sangat murah, sepertiga lebih murah
dari pada asrama untuk mahasiswa asing. Biaya air, gas dan listrik juga
disubsidi oleh pemerintah/universitas, jadi bayarnya tergantung
penggunaan. Makannya juga masak sendiri, sangat lebih irit. Kalau beli,
paling murah beli "bento" (makanan dibungkus yang isinya sepaket; nasi,
salad, lauk) harganya 500 yen. Belanja sayur, beras dan minyak untuk
seminggu berkisar antara 1500 - 3000 (ini hidup irit versi saya lo ya).
Teman yang lain pasti lain juga. Bukan sekedar karena income yang cukup,
tapi lebih-lebih saya ini suka yang sederhana saja.
Kalau masuk musim panas, saya paling suka, karena dapat banyak sayur
gratis dari kebun, baik dari hasil tanam sayur di lab sendiri maupun
diberi dari lab lain. Jadi bisa lebih irit lagi. Berdasarkan musim,
biaya hidup juga lain-lain. Misalnya, kalau musim dingin, boros di gas
karena mandi pakai air hangat dan menggunakan penghangat ruangan. Kalau
musim panas boros di air, karena sering mandi, hehe. Saya pribadi bisa
mandi 2-4 kali sehari saking gerahnya. Jadi, mengenai biaya tergantung
banyak hal.
8. Barang apa saja yang harus dibawa ketika kita hendak berangkat ke Jepang?
Jawab : Menurut saya pribadi, tidak perlu banyak membawa barang. Saya
orang yang tidak suka ribet. Yang pasti penting adalah dokumen pribadi.
- Pertama dokumen perjalanan (passport, invitation letter, tiket pesawat).
- Kedua dokumen identitas (KTP, SIM, fotokopi KK).
- Ketiga, dokumen yang berkaitan dengan study (ijasah kelulusan S1, transkrip nilai, biasanya saat apply diminta copy versi bahasa Inggrisnya, jadi silakan dibawa semua. Sertifikat kegiatan atau prestasi, pilih yang 2 tahun terakhir saja).
- Keempat, dokumen khusus yang diperlukan untuk program master (mungkin kalau diminta dosen pembimbing atau universitas). Selain dokumen-dokumen, disiapkan pakaian secukupnya. Kalau saya lebih praktis membawa pakaian yang sesuai dengan musim ketika saya sampai. Selebihnya, ada toko pakaian murah di sini dengan harga 100 - 1000 yen. Jadi, tidak perlu repot membawa. Kamus penting dibawa, baik bahasa Inggris mapun bahasa Jepang. Buku referensi yang paling membantu, berharga atau yang diyakini ada jimatnya . Buku doa, kitab suci dan peralatan doa itu pasti. Plus, kalau saya bawa teh atau sedikit bumbu makanan dan snack. Lumayan untuk mengobati kangen sedikit di awal-awal. Yang pasti, barang penting yang diperlukan untuk mendarat dan masuk program diutamakan.
Tips saya, sebelum berangkat silakan hubungi PPI di wilayah tempat
tujuan. Kalau tidak tahu hubungi saja PPI Jepang. Jadi ketika datang,
sudah punya teman dan kenalan orang Indonesia. Saya dulu tidak bawa
barang apa-apa. Tetapi kemudian dibantu teman-teman PPI Ibaraki untuk
dapat barang-barang yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari seperti
peralatan makan, masak, futon (sejenis kasur), dll. Jadi jangan khawatir
tentang barang-barang.
Biasanya teman-teman Indonesia yang selesai tugas belajar dan akan
kembali ke Tanah Air akan menitipkan dan menghibahkan barang-barang
miliknya ke adek angkatan. Kulkas, TV, dan barang elektronik lainnya
tidak bisa dibuang sembarangan di sini. Membuangnya harus pada pihak
tertentu dan pihak yang membuang dikenakan biaya (semacam denda membuang
sampah). Nah, daripada sayang dibuang dan kena denda, biasanya next
generation akan dapat warisan.
Pesan untuk adek-adek yang ingin sekolah di Jepang.
Saya sudah memberi pesan supaya yang utama adalah pastikan beasiswa.
Meski sebelum itu pasti sudah connect dan oke dengan dosen pembimbing,
jurusan dan ilmu yang mau didalami ya. Jangan sampai kemudian menyesal
atau ngomel sendiri karena merasa salah jurusan. Kecuali kalau ada teman
yang sekolah di sini karena ikatan kerja sama kantor atau institusi,
kadang tidak bisa memilih jurusan atau lab dan dosen yang diinginkan.
Tapi selain itu, saya pikir adalah kebebasan masing-masing untuk memilih
dosen, jurusan dan lab yang diinginkan. Dari smua hal ini, yang paling
mendasar yang peru disiapkan adalah jiwa dan raga. Saya lupa sudah
mencantumkan atau belum.
Sering kali kalau belum pernah tinggal lama di Jepang, pasti bayangannya
hidup enak, semua serba ada dan keren. Memang demikian. Saya sendiri
bangga lho, tanpa modal tapi bisa sekolah di Jepang dan merasa keren.
Tapi perlu diingat, sekolah di Jepang tidak mudah. Sungguh-sungguh tidak
mudah. Sistem belajarnya berbeda dengan di Indonesia. Cara berpikir,
penyampaian, analisis juga lain. Yang paling besar adalah cara hidup
bertetangga dengan orang Jepang, bersosialisasi dalam budaya yang
berbeda itu juga akan mempengaruhi pola hidup. Menyiapkan hati dan
mental adalah hal yang paling utama untuk me-wadahi semua perbedaan
tersebut.
9. Adakah
motivasi tersendiri dari Yufita yang bisa dibagi ke teman-teman di
Indonesia, agar mereka memiliki semangat untuk mencari ilmu bahkan
sampai ke luar negeri?
Jawab : Wah, pertanyaannya berat mas. Saya sendiri tidak pernah
kepikiran sekolah sampai S2, di Jepang pula. Semuanya serba kebetulan.
Kebetulan saya mendapat tawaran sekolah, kebetulan saya mendapat
rekomendasi dan resmi dari dosen pembimbing S1 di UGM, dan kebetulan
saya berani memutuskan berangkat tanpa beasiswa. Saya mengakui, saya
salah satu mahasiswa dengan kasus belajar di luar negeri yang nekad.
Banyak pengalaman belajar di negeri orang sebagai orang asing yang
membuka pengetahuan saya terhadap ilmu dan hidup. Sedikit banyak dua
tahun masa belajar saya membentuk karakter pribadi saya.
Saya sempat pulang selama setengah tahun ke lab di UGM. Hal yang sama
saya sampaikan pada adik-adik di jurusan IHPT, UGM bahwa belajarlah
dengan baik, dari manapun, dari siapapun. Sekarang kesempatan untuk
merasakan pendidikan di negara lain baik dalam long term maupun short
term ada banyak dan mudah. Kalau memang ingin mendapatkan kesempatan
itu, silakan berjuang mendapatkannya. Seandainya akan sekolah di luar
negeri, saya sarankan supaya jangan meniru jalan dan cara nekad saya.
Lebih baik pastikan dulu beasiswa sejak masih di Indonesia, supaya tugas
belajar lebih fokus.
*Ini adalah pengalaman pribadi saya yang sangat berkesan dalam hidup.
Ternyata kuliah di Jepang susah, murah, menyenangkan, dan lain
sebagainya.
Nah itu tadi teman-teman sebuah cerita mengesankan dari sahabat kita
Yufita yang telah berhasil menapakkan kakinya di tanah Jepang. Semoga
penjelasan Yufita di atas dapat bermanfaat buat kamu semuanya. Nah,
kalau kamu ingin info seputar dunia perkuliahan baik di dalam atau di
luar negeri, pantau terus ya berkuliah.com, tetap semangat dan sampai
jumpa.
Halo Mbak...Mau tanya... apakah Universitas yang di tuju terserah kita atau ada ketentuannya? Terimakasih Mbak...
BalasHapusSaya ingin diskusi tentang beasiswa rotary, apakah bersedia? bagaimana cara saya dapat menghubungi mba. Terimakasih
BalasHapus